Malang, Siaptv.com – W. TUHU PRASETYANTO S.H., M.H.
Pegiat beberapa Lembaga sosiohumaniora di Malang
Advokat pada Asmojodipati Lawyer’s
“Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.” (Pramudya Ananta Toer-House of Glass) Kutipan dari Pramudya Ananta Toer dalam buku House of Glass tersebut, secara sederhana kira-kira dapat diartikan bahwa sejatinya kehidupan itu sangat sederhana, hanya saja tafsir manusia yang seolah-olah membuatnya rumit, akantetapi bilamana dipahami pokok dasar laras untuk memahami fenomena kehidupan, maka akan didapati kenyataan jika ternyata sebenarnya hanyalah suatu yang sederhana saja.
Dalam kehidupan bernegara, yang tentu dimulai dengan menyusun suatu pemerintahan, pada dasarnya juga sederhana, karena kenyataannya, segala tata negara dan pemerintahan yang ada, ujung-ujungnya adalah diatur dengan hukum, bukan dengan etika, ekonomi, agama, politik, ataupun yang lainnya, sebab memang hukum dipandang sebagai sarana paling fair untuk memberikan aturan main dalam kehidupan bernegara menuju keadilan sosial bagi seluruh warga negara, meski tetap tidak bisa dipungkiri bahwasannya hukum tentu saja sangat niscaya memiliki pengaruh dari etika, ekonomi, agama, dan banyak lainnya, terutama politik.
Memahami kaidah sebagaimana tersebut, maka ketika terdapat suatu polemik problematik didalam masyarakat, mengenai berbagai macam hal, untuk mendapatkan kepastian yang relative fair bagi semua pihak, dengan mengesampingkan rasa suka ataupun tidak suka, polemik problematik yang ada haruslah disimak secara sederhana dengan menggunakan perspektif hukum.
Sudah terjadi dan bukan tidak mungkin akan kembali terjadi, hiruk pikuk pada perdebatan pro dan kontra adanya mantan narapidana yang akan turut serta berkontestasi sebagai calon Kepala Daerah, tentu saja khalayak ramai akan memiliki beragam penilaian dengan bermacam-macam perspektif, dari yang menyebut layak sampai menganggab tidak layak, bahkan untuk sekedar menjadi calon belum sampai dipilih, dan ternyata fenomena ini secara konkrit terbaru terjadi di Kota Malang.
Menanggapi fenomena tersebut, bukan dalam arti mendukung akantetapi membaca permasalahan secara sederhana terkait keberadaan Abah Anton sebagai bakal calon Walikota Malang, sedang beliau merupakan mantan terpidana, maka demi mendapatkan kepastian yang relative fair bagi semua pihak baik yang suka maupun tidak suka, haruslah secara sederhana menyimak norma hukum yang berkaitan.
Sebagaimana putusan perkara No.94/Pid.Sus/2018/PN.Sby Tgl 10 Agustus 2018 Abah Anton dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 dijatuhi pidana penjara 2 (dua) tahun dan denda Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Selain itu Abah Anton juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 (dua) tahun setelah Terdakwa selesai menjalani pidana pokok, fakta tersebut menunjukkan bahwa Abah Anton dianggab bersalah dan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, sehingga secara hukum, kemudian setelah masa pemidanaan dijalani didalam Lembaga Pemasyarakatan telah selesai, haruslah dimaknai sebagai “Pertaubatan Legal” yang diatur oleh negara juga sudah usai, sehingga berarti secara formal telah siap untuk kembali ke tengah masyarakat dengan segala hak-haknya tanpa diskriminasi, lebih lanjut secara prinsip didalam hukum juga telah terdapat asas “Ne Bis In Idem” yang berarti tidak boleh seseorang dihukum labih dari satu kali atas perbuatan yang sama, apalagi jika dihukum dengan suatu ketentuan hukum yang baru dibuat, setelah hukuman yang sebelumnya selesai dijalani, karena pada dasarnya hukum tidak bisa berlaku surut.
Didalam polemik yang membuat pro kontra pencalonan Abah Anton, hal ini bermula dari Putusan MK No.56/PUU-XVII/2019 yang pada intinya mengatur calon kepala daerah berstatus mantan terpidana untuk maju ikut kontestasi pemilihan kepala daerah, harus menunggu masa jeda selama 5 tahun setelah melewati atau menjalani masa pidana penjara berdasarkan putusan yang telah inkracht, kemudian juga putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023, hingga adanya jurisprodensi dari putusan MK Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024.
Dari serangkaian keputusan-keputusan tersebut, dapatlah kemudian diketahui bahwasannya secara formal khususnya pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi sudah mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi sendiri Nomor 12/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum tanggal 28 Februari 2023, hal mana dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memaknai ketentuan Pasal 182 huruf g UU Pemilu sebagaimana termaktub dalam amar putusan angka 2 yang dalam uraiannya menerangkan sebagai berikut:
“Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: … g (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.”