Dari Hidup Menjadi Pengamen Jalanan Hingga Hidup Sebatang Kara Di Hutan Mangrove Selama 40 Tahun

  • Bagikan
banner 728x90

 

PROBOLINGGO ( siaptv.com ) – Agus Sugiarto Kakek Tua berusia 76 Tahun ini hidup sebatang kara di tengah hutan mangrove di wilayah pesisir pantai Kota Probolinggo, tanpa adanya istri maupun sanak saudara yang menemaninya. Diketahui kakek tua tersebut merupakan warga Jogjakarta, dimana sebelumnya Kakek yang kerap disapa agus tersebut berprofesi sebagai pengamen jalanan.

Hingga akhirnya memutuskan untuk hidup di tengah hutan mangrove di sisi Kota Probolinggo Jalan Lungkar Utara, Kecamatan Mayangan tersebut. Berbekal satu buah gitar tua dan beberapa pakaian layak pakai yang dia dapat dari penduduk sekitar, dirinya mampu bertahan hidup hingga 40 tahun lamanya.

“Sebelumnya saya berpindah tempat dari Kota ke Kota, hanya untuk mengais rejeki, dengan cara menjadi pengamen pada umumnya, dari terminal, naik turun bus, dan singgah di kota lain, sampai pernah saya ngamen dan singgah di Banyuwangi dan Kota Jember,” tutur kakek kelahiran 1946 tersebut.

Dimana dirinya juga sempat menikah dengan wanita asal jember, yang saat itu juga sama – sama berprofesi sebagai pengamen jalanan di Terminal Tawangalun. Namun sayangnya kisah asmaranya bersama wanita asal jember tersebut harus kandas, satu minggu setelah menikah.

 

“Saya tidak pernah tahu apa alasan istri saya meninggalkan saya, jadi ya sudahlah, mungkin dia juga tidak betah untuk hidup bersama saya, dan semenjak saat itu saya memutuskan untuk singgah di Kota Probolinggo ini, dan saya menemukan hutan mangrove yang saya tempati saat ini,” terangnya.

Selain itu Agus berkata jika dirinya juga sangat suka dengan hewan Kucing dan gemar sekali mencari kerang kecil di pinggiran hutan mangrove, oleh sebab itu dirinya memutuskan enggan untuk meninggalkan tempat tinggalnya yang saat ini di tempati.

 

“Kira – sekitar tahun 1982 saya berpindah ke mangrove ini, dari dulu hingga saat ini saya mampu bertahan hidup hanya dari mencari kerang kecil atau remis yang ada di mangrove ini, selain itu saya juga berkeliling ke pemukiman sekitar, untuk memulung botol bekas dan kardus, untuk saya jual kembali,” ucapnya.

Dengan kondisi yang memperihatinkan itu, Agus juga sering mengalami beberapa hal yang tidak mengenakkan. Seperti air laut sedang pasang pada malam hari, jika sudah dalam kondisi tersebut dirinya memilih menyelamatkan barang hasil rongsokannya untuk digantung di akar pohon mangrove dan dia juga memanjat akar pohon tersebut agar terhindar dari dinginnya air payau.

“Ya bagaimana lagi, terpaksa saya tidak tidur selama semalam suntuk kalau airnya sedang tinggi seperti itu, ya untuk penghasilan dari berjualan remis, bisa dibilang cukup untuk saya dan kucing saya makan, apalagi saya saat ini juga sudah jarang sekali memakan nasi, karena gigi saya ini sudah rontok semua yang bagian atas ini, jadi ya saya makan kerupuk saja,” imbuhnya.

 

Bahkan untuk memakan nasi, Aguspun harus memasaknya dengan sangat lembut hampir menyerupai bubur. Agar dirinya tidak kesulitan saat menyantapnya, agus juga menjelaskan jika dirinya memasak nasi tersebut hanya mengandalkan kompor tungku buatannya, dan satu buah panci hasil dari pemberian warga sekitar.

Kondisi yang sangat memperihatinkan tersebut sering kali Agus berpikiran untuk mengakhiri nyawanya. Dimana agus berucap jika sedikitnya tujuh kali percobaan bunuh diri sering dia lakukan namun hingga kini gagal.

“Dari gantung diri, hingga minum racun serangga, menabrakkan diri ke kereta api, bahkan bisa ular kobra pun juga sudah pernah saya minum, namun selalu gagal, hingga kini, permintaan saya hanya satu pada sang pencipta, tolong segera ambil saya,” pungkasnya.

 

Selama dirinya hidup di hutan mangrove tersebut, Agus juga pernah didatangi seseorang dari dinas sosial. Bahkan Agus juga pernah diminta untuk pindah dari tempat tersebut, namun dirinya menolak semua tawaran bantuan tersebut.

 

“Saya sudah merasa nyaman di gubuk ini, dan saya juga kasian juga pada kucing saya ini, kalau saya pindah, siapa yang mau merawatnya, selain itu saya juga merasa sangat nyaman disini, suasana yang sepi ini menurut saya adalah sebuah ketenangan,” Ungkapnya.

 

Bahkan dengan kondisi yang jauh dari kata layak ini, Agus juga kerap menolak bantuan yang tidak dia butuhkan. Sebari menghisap rokoknya. Agus berkata jika lebih baik bantuan tersebut diberikan pada orang yang lebih membutuhkan saja, bahkan pernah dia terpaksa menerima bantuan yang tidak sia butuhkan.

 

“Namun saya sumbangkan kembali pada yayasan panti asuhan, atau pada orang yang lebih membutuhkan, karena menurut saya, dengan kondsi seperti ini merupakan salah satu komitmen saya, bahwa saya memilih hidup sendiri tanpa bergantung pada orang tua saya dahulu saat saya kecil, dengan bermodal kesukaan saya dalam bermusik, hingga akhirnya saya menjadi pengamen, dan menurut saya itu suatu kepuasan tersendiri bisa hidup tanpa sepeser pun uang dari orang tua saya, bahkan sekarangpu saya sudah tidak mengetahui dimana saudara saya lainnya dan kondisi orang tua saya saat ini dimana,” tandasnya, sebari mengingat – ingat memori masa lalunya.(*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *